Kemerdekaan RI dan Ramadhan

 

SoekarnoBerbicara tentang “Kemerdekaan” berarti berbicara tentang; bendera merah-putih, pahlawan, proklamasi atau hal-hal lain yang berkaitan dengan semangat “nasionalisme”. Sedang berbicara tentang “Ramadhan” kaitannya biasanya dengan; puasa, lagu-lagu rohani, sinetron-sinetron Islami atau hal-hal yang berkaitan dengan kereligiusan.

Mungkin akan muncul pertanyaan yang bisa diekspose “ Apa hubungan antara tingkat religiusan dengan nasionalisme?”.  Kalo boleh jujur tidak  dapat disangkal bahwa Islam merupakan komponen penting yang turut membentuk dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu. Perjuangan umat Islam merupakan suatu proses ke arah pembentukan pola tatanan baru dalam dinamika kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.

Semangat untuk merdeka bersumber dari wahyu Risalah: Dinul Islam sumber kekuatan utama mayoritas bangsa, dan mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Oleh karna itu mengapa pada Mukadimah UUD 45 dikatakan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Hal ini dak tak bukan bahwa perjuangat merebut kemerdekaan Indonesia adalah karna landasan tauhid menumpas kekuasaan kafir Belanda yang lama bercokol di bumi Indonesia.

Kita akrab dengan pekikan takbir “Allahu Akbar” yang dikumandangkan Bung Tomo (orator ulung pemicu perjuangan rakyat Surabaya).  Hal ini menunjukan bahwa Islam adalah modal utama nasionalisme.

Umat Islam sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 berada di bawah kekuasaan imperialisme kafir yang menguasai segala aspek kehidupan dan mencoba melumpuhkan kekuatan. Sejak zaman VOC ke zaman Cultuur Stelsel (tanam paksa) terus ke periode Etische Politiek (polotik etis), hingga zaman Volksraad (Dewan Rakyat) tempat berbagai diplomasi politik ber-kembang, dan berakhir pada zaman Exorbitante Rechten (hak luar biasa di tangan Gubernur Jenderal. Semuanya tak henti-hentinya menggerus kekayaan alam bangsa ini.

“Toh…diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atu tidk diberi penguat;;–tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa, tidak boleh tidak, pasti akhrinya berbangkit, pasti akhrinya bangun, pasti akhrnya meggerakan tenaganya, kalau ia sudah terlalu sekali teraniaya oleh suatu daya angara murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi manusia,– walau cacing pun tentu bergerak berontak kalau merasakan sakit! (Soekarno: “Indonesia Menggugat”)

Yah rasa muak dengan kesengsaraan, muka dengan penjajahan dan muak dengan kemiskinan umat Islam bangkit untuk memperjuangkan tanah airnya. Karna kelak di akhirat nanti akan jadi sebuah pertanyaan mana tanggung jawab atas kekayaan tanah air yang telah diberikan kepada umat Islam Indonesia?

Kesadaran akan pentingnya persatuan umat Islam dalam menentang penjajahan kolonial Belanda dalam bentuk organisasi baru terwujud dan berkembang pada awal abad ke-20. Masa akhir penjajahan Belanda, memberikan gambaran tentang pertumbuhan pergerakan keislaman di Indonesia. Pada masa permulaan abad 20, ketika rasa nasionalisme modern masih baru tumbuh, kata “Islam” merupakan kata pemersatu bagi bangsa Indonesia.

 

Semangat Ramadhan itu Semangat Kemerdekaan

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas bahwa tidak ada dikotomi antara nasionalisme dengan sikap religius.  Kemerdekaan berarti “membebaskan”,  semangat ini bisa kita aplikasikan untuk membebaskan diri kita dari belenggu hawa nafsu di bulan Ramadhan. Sedang Ramadhan berarti “menahan diri” menahan diri untuk tidak tercebur dari perbuatan dosa.

Namun ada banyak orang yang suka menciptakan dikotomi dunia-akhirat, politik-agama, nasionalis-religius, dan seterusnya. Mereka biasa menyebut diri mereka sekular (pemisah antara agama dan Negara).  Jujur saya sangat tak sependapat dengan mereka. Antara agama dengan Negara adalah hal yang tak dapat kita pisah-pisahkan.

Tapi saya juga agak sedikit “eneg” dengan kampanye para politisi bahwa partai mereka itu “Nasioalis-Religius” atau sebaliknya “Religius-Nasionalis”.  Itu lebih terdengan sebagai kalimat normatif yang bergunana untuk menyenangkan pemilih mereka. Itu adalah slogan produk partai untuk menarik hati.  Bila partai nasionalis, nasionalis model apa yang mereka lakukan. Lalu bila mengklaim sebagai partai religius, religius maca apa itu?

Kembali kepada tema “Kemerdekaan dan Ramadhan” kalau boleh realistis saat ini kedua hal tersebut sudah mulai ditinggalkan oleh rakyat kita. Sudah jarang orang yang merasa bangga mengkibarkan bendera merah-putih pada 17 Agustus, menyanyikan lagu Indoneisa Raya dan seterusnya.

Tak lebih baik , sisi religius hanya muncul musiman saja seperti bulan Ramadhan saja. Orang beramai-ramai menyanyikan lagu Islami, yah di bulan puasa saja. Diskotek, bar, lokalisasi, dan karokean ditutup yah hanya di bulan Ramadhan saja.

Itulah mengapa tema “Kemerdekaan dan Ramadhan” lebih saya jadikan intropeksi pribadi bahwa firman:

(Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu) di antara umat manusia (agar kamu bertakwa) maksudnya menjaga diri dari maksiat, karena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal sumber kemaksiatan itu.(Tafsir Jalalain : Al-Baqarah 183)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a comment